Mnuju Langit Impian Dengan Seribu Rupiah
Menuju
Langit Impian dengan Seribu Rupiah
Masih
seperti sebelumnya aku membawa beberapa bungkus nasi untuk anak-anak jalanan
yang tinggal di pinggiran kota itu.
“Selamat
siang semuanyaa...!!!” sapaku riang.
“Siang
kak..!!!” mereka berlari menghampiriku,”Kak... kakak membawakan kami makanan
lagi yah?” tanya Sinta salah satu anak dari kumpulan anak-anak jalan itu.
“Iyah,
alhamdulallah tadi kaka dapat rezeki, jadi kakak bawakan makanan untuk kalian,”
ucapku sambil mengelus rambut Icha, anak yang paling kecil diantara mereka.
“Terima
kasih kak, kakak memang baik, tidak seperti orang-orang kaya di luar sana.
Mereka hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri mereka sendiri, bahkan dengan
cara yang tidak halal sekali pun. Mereka tidak pernah menoleh kepada kami,
anak-anak jalanan yang butuh makan dan sekolah,” ucap Alpan dengan nada agak
kesal. Dia adalah anak laki-laki yang penuh semangat, dan perhatiannya yang
sangat besar terhadap anak-anak yang senasib dengannya. Tak jarang dia
memberikan jatah makanannya untuk temannya sendiri.
Aku
hanya tersenyum dan berkata,”Kamu jangan berterima kasih pada kakak, tapi
berterimakasihlah kepada Allah, kakak hanya sebagai perantara, karena Dia-lah
yang telah memberikan rezeki pada kakak dan kakak bisa membaginya dengan kalian.
Dan untuk orang-orang kaya itu, kita do’akan saja, semoga Allah membukakan
pintu hati mereka, agar suatu saat nanti
mereka akan bisa menoleh kepada kalian anak-anak yang sangat membutuhkan
dedikasi mereka.”
“Kakak...!!!”
panggil icha memelas padaku.
Aku
menoleh dan menatapnya lembut,”Iya sayang.. kenapa?”
“Aku
sudah lapar, kapan makannya?” ucap Icha sambil memegang perut mungilnya itu.
“hahahahaha....!!!!”
Semuanya tertawa mendengar kata-kata Icha. Melihat canda tawa mereka, ada
kebahagiaan tersendiri yang kurasakan. Dan aku baru sadar, bahwa kebahagiaan
sejati, adalah ketika kita mampu melukis senyuman di bibir orang-orang yang
sangat kita sayangi.
Aku
senang melihat mereka yang dengan lahapnya makan, tak ada sedikit pun makanan
yang mereka sisakan. Kadang aku merasa kesal dengan orang-orang yang dengan
sengaja membuang makanan, padahal di sini dan masih banyak lagi orang-orang
yang membutuhkan makanan agar mereka bisa tetap bertahan hidup. Dan aku juga
sangat bersyukur kepada Allah, karena aku lahir dari keluarga yang berkecukupan.
Ya, kalau hanya untuk makan kami tidak pernah kekurangan.
“Kakak..
!!!” Sinta menyapaku dengan nada lembut sambil menyodorkan sedikit makanan.
Aku
agak sedikit kaget karena sapaan Sinta yang telah membangunkan aku dari lamunanaku
itu,”ii.. iyah Sinta kenapa?”
“Aku
ingin berbagi makanan ini dengan kakak, rasanya tidak enak jika kakak hanya
melihat kami makan. Lebih baik kakak ikut makan bersama kami,” Sinta meraih
tanganku dan memberikan makanannya.
Sungguh
baik hati anak ini, ucapku dalam hati,”Iya kakak akan ikut makan bersama
kalian, terima kasih ya Sinta, kamu memang anak baik.”
“Kakak,
adzan Magrib telah berkumandang, kakak ikut shalat Magrib bersama kami saja
ya...!” ajak Nanda kepadaku. Nanda adalah anak laki-laki paling dewasa diantara
mereka, dia mempunyai sifat dewasa yang sangat kental, dan taat beribadah.
“Iyah
sekalian malam ini kakak mau tidur bareng kalian, boleh kan?”
Dalam
seketika, semuanya seperti terkaget-kaget,”Tidur..? bareng kami..? tapi kami
kan tidak punya tempat tinggal, kadang kami tidur di pinggir jalan, kadang di
kolong jembatan, dan kadang juga di depan teras rumah orang. Dan tak jarang ada
orang-orang yang datang untuk mengusir kami,” ucap Nanda dengan penuh rasa
sesal.
“Iya,
kadang aku kesal pada orang-orang yang begitu saja mengusir kami, mereka tidak
pernah memikirkan, bagaimana jika mereka berada di posisi kami yang kebingungan
untuk mencari tempat tidur. Mereka hanya bisa marah-marah sambil memaki kami,”
tambah Alpan yang keliatan sangat kesal.
“Iyah..
kakak mau tidur di mana saja, asal bisa bersama kalian untuk malam ini,” aku
menjelaskan maksudku.
“Horre..!!
aku bisa tidur sama kakak. Nanti kakak bacakan cerita untuk kami yah!” Icha
kelihatan sangat gembira dengan keputusanku untuk tidur dengan mereka.
Selesai
berbincang, kami pun menuju sebuah mesjid untuk menunaikan salah satu kewajiban
kita yang paling utama, yaitu shalat lima waktu. Setelahnya kami shalat, kami
menyempatkan untuk membaca beberapa ayat suci Al-Quran, dan setelah itu kami
melaksanakan shalat Isya. Selasainya shalat, kami berkumpul di depan teras
mesjid dan mulai berbincang kembali.
“Icha,
tadi selesai shalat, Icha minta apa sama Allah?” aku bertanya kepada Icha untuk
membuka pembicaraan.
“Tadi
Icha minta agar cita-cita Icha terkabulkan.” Semuanya menoleh pada gadis lugu
yang mengatakan isi do’anya tadi.
“Memang
kamu punya cita-cita Icha? Kita kan hanya anak jalanan, mana boleh punya
cita-cita, itu hanya akan membuat kita kecewa, karena kamu tidak akan pernah
bisa meraihnya,” Alpan berbicara dengan nada agak sinis.
Icha
hanya tertunduk mendengar kata-kata dari Alpan tadi. “ Tidak Icha, kalian boleh
dan bahkan harus mempunyai cita-cita. Kalian tidak mau kan kalau seandainya
kalian akan terus hidup seperti ini?” tanyaku dengan nada meyakinkan.
Mereka
serempak menggelengkan kepala mereka,”Kalian adalah generasi penerus bangsa
kita, kelak kalian yang akan menjadi pemimpin bangsa dimasa depan, dan agar kalian
bisa menjadi penerus para pahlawan kita terdahulu, maka kalian harus
menggantungkan citi-cita kalian setinggi langit,” ucapku meneruskan penjelasan
tadi kepada mereka.
“Jadi
Icha boleh punya cita-cita?” ku lihat mata icha kembali berbinar penuh harapan.
“Tentu,
memang cita-cita Icha pengen jadi apa seh..? kakak mau dengar.”
“Icha
mau seperti kaka, baik, cantik, solehah, perhatian, pintar, pokoknya semuanya
tentang kaka. Andai saja semua orang seperti kakak, mungkin kami anak-anak
jalanan tidak akan terlantar seperti ini,” ujar Icha dengan lugunya.
“Terima
kasih Icha, cita-cita kamu sangat mulia untuk menjadi seorang wanita yang bisa
menjadi tiang negara yang sangat kokoh. Tapi Icha tidak perlu membandingkannya
dengan kaka, nanti kakak ke GR an sendiri hehe..,” kami tertawa dengan sangat
lepas.
”haha..
sudah ah tertawanya, tidak baik. Lalu cita-cita kamu Sinta?”aku bertanya kepada
Sinta,
“Eu..
cita-citaku?” Sinta kelihatan gugup dengan pertanyaanku.
“Iyah
cita-citamu?” aku mengulangi pertanyaanku.
“Tapi
jangan ditertawakannya ya!” ucap Sinta dengan sedikit ragu.
“Manamungkin
kakak menertawakannya, tahu saja belum.”
‘Hahahaha..”
semuanya tertawa kembali.”
“Tuh
kan, belum saja aku bercerita, sudah pada ketawa,” Sinta berbicara dengan nada agak
kecewa.
“Iyah..
Iyah.. maafkan kakak dan teman-temanmu, lalu cita-citamu apa?
“Sebenarnya
aku malu mengatakannya, aku mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang desainer
terkenal. Alasannya, karena aku ingin bisa membuat baju-baju muslim dan
muslimah yang bagus dan layak untuk dipakai. Jika cita-citaku tercapai, aku
akan buatkan baju, untuk Icha, kak Nanda, Alpan, dan yang paling spesial untuk
kakak,” Sinta menjelaskan cita-citanya. Kulihat matanya, ada sejuta harapan dan
ketulusan di dalamnya.
“Kakak,
aku juga mau menceritakan cita-citaku,” ucap Nanda,”aku mempunyai cita-cita,
untuk menjadi salah seorang pemimpin di negri ini. Aku ingin sekali mengikuti jejak
Rasulullah dan para sahabatnya Khulafaurasyidin, yang memimpin kaumnya
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,” lanjutnya.
“Bagus,
kakak sangat mendukung cita-citamu,” ucapku sambil menepuk bahu Nanda.” Lalu
Alpan ingin menjadi apa?” aku bertanya pada Alpan yang sedari tadi hanya diam
saja.
“Cita-cita?
Hah.. aku tidak mepunyai cita-cita, untuk apa aku mempunyai cita-cita? Toh
tidak akan pernah tercapai. Dan kalian semua, Icha kamu tidak mungkin bisa
pintar seperti kak Sintia. Sinta, kamu tidak akan pernah menjadi seorang desainer,
apalagi kamu Nanda, ingin yang menjadi seorang pemimpin, itu semua hanya
hayalan kalian yang tidak akan pernah tercapai. Untuk menjadi semua itu, kalian
butuh pendidikan. Sedangkan kita kan tidak sekolah, apa bisa kalian mencapai
cita-cita kalian yang jauh setinggi
langit itu?” Alpan mengatakannya dengan nada tinggi.
Semuanya
hanya terdiam termasuk aku. Mendengar kata-kata Alpan tadi rasanya miris sekali
hatiku. Jika aku punya uang lebih, ingin sekali aku menyekolahkan mereka, agar
apa yang mereka cita-citakan bisa tercapai.
Tidak
terasa hari telah larut malam, semuanya sudah tertidur, dengan Icha berada di
pangkuanku. Aku membangunkan Nanda, untuk membantuku memindahkan anak-anak
lainnya ke dalam mesjid. Kebetulan pengurus mesjid di sini mengizinkan kami
untuk menginap malam ini.
Pagi
itu aku duduk melamun di taman kampusku sambil membayangkan apa yang dikatakan
Alpan semalam,”Ada benarnya juga, jika mereka tidak sekolah, bagaimana mungkin
mereka bisa menggapai cita-cita meraka,” ucapku dalam hati.
“
Hai...!!!” tanya Anggi mengagetkanku.”lagi ngelamunin apa seh? Jangan melamun
terus, nanti ada setan masuk loh..!” ucapnya sambil bercanda.
“Aku
lagi punya masalah Nggi, jadi begini ceritanya....,” aku menceritakan semua
yang sedang kualami kepada Anggi sahabat dekatku itu. Dia seorang sahabat yang
baik dan solehah. dia selalu mengerti apa keluh kesahku, dan dia selalu bisa
membantuku menyelesaikan masalah-masalahku. Dia mengenakan busana muslim setiap
hari, sama sepertiku.
“Iyah
sekarang aku mengerti, kamu berkeinginan untuk menyekolahkan mereka kan? Dan
aku punya ide,” ucapnya sambil tersenyum padaku.
“Lalu
bagaimana ide mu itu?” tanyaku penasaran.
“Bagaimana
kalau kita mengadakan progran seribu rupiah untuk anak-anak jalanan?” dia mulai
menjelaskan idenya itu.
“Maksudmu?”
tanyaku semakin penasaran.
“Maksudku
kita ajak teman-teman kita yang lain untuk mngadakan program seribu rupiah,
disana kita akam membuat poster yang berjudulkan “menggapai langit impian
dengan seribu rupiah”. Dan untuk siapa saja yang ingin membantu anak-anak
jalanan itu mencapai cita-citanya, maka mereka harus menunjukan rasa simpatinya
kepada anak-anak jalanan dengan menyimpan uang seribu rupiah pada kotak amal
yang akan kita bawa nanti,” jelasnya.
“Yah
idemu sangat bagus aku setuju,” ucapku merasa puas dengan idenya.
“Dan
ada satu lagi, untuk sementara waktu, sebelum dana untuk mereka bersekolah
terkumpul, kita ajak teman-teman kita yang lain untuk mengajarkan mereka
pendidikan sekolah dari dasar dulu,” Anggi menambahkan idenya.
“Alhamdulillah,
kamu memang sahabatku yang paling pintar, aku suka sekali dengan ide-idemu,”
aku berucap senang.
“Ingat
Sintia, di balik semua masalah pasti ada cara penyelesaiannya,dan kita harus
bersyukur pada Allah karena Dia lah yang telah memberikan jalan untuk rencana
muliamu Sintia,” kembali kata-kata bijak yang dapat menenangkan hatiku keluar
dari mulutnya.
Dan
akhirnya semua berjalan lancar, kami mengumpulkan beberapa orang teman kami
yang ingin membantu anak-anak jalanan itu, dan ternyata banyak sekali yang
ingin menunjukan dedikasinya kepada anak-anak jalanan itu. Kami membagi dua kelompok,
beberapa orang pergi mengajar anak-anak jalanan itu, termasuk aku, dan yang
lainnya bersama Anggi pergi ke jalanan untuk mulai mengibarkan gerakan
“menggapai langit dengan seribu rupiah”.
Ketika
sampai di tempat anak-anak jalanan itu berkumpul, aku langsung menjelaskan
maksudku, mereka kelihatan sangat gembira dengan berita yang ku bawa.
“Sekarang
kalian masih berminat untuk menggapai cita-cita kalian kan? walaupun setinggi
langit kalian harus yakin, bahwa kalian bisa. Karena pepatah Arab pun mengatakan:
“Barang
siapa yang bersungguh-sungguh, niscaya akan berhasil, dan barangsiapa yang
berjalan pasti akan sampai.”
Mereka kelihatan sangat bersemangat setelah mendengar apa yang ku
ucapkan tadi.
Setelah
seminggu ini gerakan itu dijalankan, ternyata berhasil. Teman-temanku dapat
mengumpulkan uang banyak dan cukup untuk menyekolahkan mereka. Setelah itu aku
mendaftarkan mereka sekolah. dan aku meyakinkan guru-guru di sekolah itu bahwa
anak-anak yang ku bawa adalah anak-anak pintar. Walau pun para guru itu
sebelumnya tidak percaya, dan akhirnya anak-anak itu harus menjalani beberapa
tes. Hingga akhirnya mereka di terima di sekolah itu, dengan Icha duduk di
bangku TK, Sinta duduk di kelas 1 dua MI atau sederajat dengan SD, Alpan dan
Nanda di kelas satu MTs atau sederajat
dengan SMP.
Dan
ternyata ada salah seorang guru yang baik hati, dan mau menanggung biaya makan
dan tempat tinggal mereka, karena kebetulan guru itu mempunyai yayasan
kecil-kecilan. Alhamdulillah semua berjalan lebih dari yang aku inginkan.
Setelah
beberapa tahun berjalan, ternyata mereka berempat mendapatkan beasiswa dari
sekolah mereka mesing-masing, sehingga mereka bisa terus sekolah dan
melanjutkan untuk mengejar apa yang mereka citi-citakan. Dan aku sangat yakin,
dengan semangat yang mereka punya saat ini, mereka bisa menggapai cita-cita
mereka masing-masing.
Walaupun
hanya beberapa anak yang aku bantu, tapi aku sangat senang bisa membuat mereka
tersenyum, dan semoga akan ada lebih banyak lagi orang-orang yang mau perduli
terhadap mereka. Dan sekarang aku hanya bisa bersyukur kepada Allah, “Sungguh
Engkau Maha Adil Ya Allah. Dengan hanya, seribu rupiah dari orang-orang yang dibukakan
pintu hatinya, semangat dari anak-anak jalanan itu, dan dengan kekuasaan dari-Mu,
mereka dapat bersekolah hingga pada akhirnya mereka bisa menggapai cita-cita
mereka walau setinggi langit.”
Comments